Untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa sebenarnya tidaklah sesulit yang kita bayangkan. Cukup dengan memajukan Human Development Index (HDI) yang terdiri dari sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan maka kesejahteraan suatu bangsa akan tercapai (UNDP, 1990). Di antara ketiga sektor tersebut, kesehatan mungkin adalah sektor yang paling terlupakan, terpinggirkan, dan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan kalangan di antara ketiga sektor lain.
Memang kesehatan saat ini menjadi barang yang kurang begitu diperhatikan. Dibandingkan dengan kasus Century yang tak kunjung usai, atau kasus pro kontra ujian nasional, hingga kasus pendapat Mario Teguh di situs jejaring sosial Twitter yang mengatakan perempuan suka dugem dan perokok tidak layak untuk dinikahi, kasus-kasus di dunia kesehatan sangat jarang terekspos media dan diketahui oleh masyarakat, walaupun pada kenyatannya terdapat ratusan bahkan ribuan permasalahan kesehatan yang terus terjadi di luar sana. Tepat tanggal 28 Februari kemarin, kita sama-sama memperingati Hari Gizi Nasional. Pertanyaannya, sudahkah status gizi warga Indonesia mencukupi standar? Bagaimana kasus gizi buruk di negara kita tercinta?
Masih jelas di benak kita ketika Arifa Rahmatul Jannah (26 bulan), Ahmad Furqan (4 bulan), serta Farhan (13 bulan), tiga bayi asal Padang menderita gizi buruk dan kondisinya sedang kritis saat ini. Selain itu, korban tewas akibat gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT) bertambah menjadi 23 orang setelah sebelumnya seorang balita warga Kabupaten Sumba Tengah tewas. Lalu ada Keizia Salma Fauzia, salah satu korban gizi buruk di daerah Bogor yang menderita dua kelainan yakni bocah tidak memiliki saluran anus atau yang biasa disebut Atresia Ani dan kelainan pada kakinya, yakni berbentuk hurup O sejak lahir, serta kasus-kasus gizi buruk lain yang terus berlangsung tiap harinya dan jumlahnya tak terhitung lagi.
Mungkin salah satu akar masalah dari gizi buruk ini adalah jumlah anggaran kesehatan dalam APBN yang tiap tahun masih belum mencukupi standar minimal anggaran kesehatan yang ditetapkan oleh WHO dan TAP MPR No.5/2003 yaitu sebesar 15%. Menurut data yang ditaksir oleh harian Media Indonesia, anggaran kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di dalam APBN mencapai Rp 21 triliun atau sekitar 2,2 % dari total APBN yang mencapai Rp 1.009,5 triliun.
Jumlah tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan jika mengacu pada anggaran kesehatan minimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Bandingkan dengan anggaran kesehatan negara-negara tetangga kita. Menurut World Health Report WHO, persentase anggaran kesehatan Indonesia termasuk yang terkecil di ASEAN dengan jumlah 2,2%, lebih rendah dari Myanmar (2,3%), Filipina (3,3%), Singapura (3,4%), Thailand (3,5%), Laos (3,6%), Malaysia (4,3%), Kamboja (6,0%), dan Vietnam (6,6%). Dengan keterbatasan anggaran ini, sudah tentu akan berdampak pada mutu pelayanan kesehatan, akses kesehatan, intervensi kesehatan, dan tentunya biaya kesehatan.
Dengan minimnya jumlah anggaran kesehatan, maka mutu pelayanan kesehatan terutama untuk warga menengah kebawah menjadi sangat buruk. Masih sering kita jumpai kasus dimana orang miskin yang ditolak oleh rumah sakit lantaran tidak memiliki biaya yang cukup, atau birokrasi dari jamkesmas yang semakin sulit, hingga lemahnya akses kesehatan di daerah-daerah terpencil. Bagaimana mungkin masalah-masalah gizi buruk akan dapat teratasi kalau kondisinya seperti ini.
Semoga Hari Gizi Nasional tahun ini tidak hanya menjadi perayaan dan supremasi belaka tanpa ada tindak lanjut nyata untuk menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia kita tercinta ini. Yang tak kalah penting tentunya, yang bertanggung jawab terhadap masalah gizi buruk ini tidaklah pemerintah saja, melainkan juga merupakan tugas kita yang notabene mahasiswa kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, mari kawan kita wujudkan Indonesia sehat yang sudah lama kita impikan dengan kontribusi-kontribusi kita. Kumpulan lidi jauh lebih kuat untuk memukul jika dibandingkan dengan hanya menggunakan satu batang lidi. Ingat saudaraku, kemajuan bangsa ada di tangan kita pemuda Indonesia.
Memang kesehatan saat ini menjadi barang yang kurang begitu diperhatikan. Dibandingkan dengan kasus Century yang tak kunjung usai, atau kasus pro kontra ujian nasional, hingga kasus pendapat Mario Teguh di situs jejaring sosial Twitter yang mengatakan perempuan suka dugem dan perokok tidak layak untuk dinikahi, kasus-kasus di dunia kesehatan sangat jarang terekspos media dan diketahui oleh masyarakat, walaupun pada kenyatannya terdapat ratusan bahkan ribuan permasalahan kesehatan yang terus terjadi di luar sana. Tepat tanggal 28 Februari kemarin, kita sama-sama memperingati Hari Gizi Nasional. Pertanyaannya, sudahkah status gizi warga Indonesia mencukupi standar? Bagaimana kasus gizi buruk di negara kita tercinta?
Masih jelas di benak kita ketika Arifa Rahmatul Jannah (26 bulan), Ahmad Furqan (4 bulan), serta Farhan (13 bulan), tiga bayi asal Padang menderita gizi buruk dan kondisinya sedang kritis saat ini. Selain itu, korban tewas akibat gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT) bertambah menjadi 23 orang setelah sebelumnya seorang balita warga Kabupaten Sumba Tengah tewas. Lalu ada Keizia Salma Fauzia, salah satu korban gizi buruk di daerah Bogor yang menderita dua kelainan yakni bocah tidak memiliki saluran anus atau yang biasa disebut Atresia Ani dan kelainan pada kakinya, yakni berbentuk hurup O sejak lahir, serta kasus-kasus gizi buruk lain yang terus berlangsung tiap harinya dan jumlahnya tak terhitung lagi.
Mungkin salah satu akar masalah dari gizi buruk ini adalah jumlah anggaran kesehatan dalam APBN yang tiap tahun masih belum mencukupi standar minimal anggaran kesehatan yang ditetapkan oleh WHO dan TAP MPR No.5/2003 yaitu sebesar 15%. Menurut data yang ditaksir oleh harian Media Indonesia, anggaran kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di dalam APBN mencapai Rp 21 triliun atau sekitar 2,2 % dari total APBN yang mencapai Rp 1.009,5 triliun.
Jumlah tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan jika mengacu pada anggaran kesehatan minimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Bandingkan dengan anggaran kesehatan negara-negara tetangga kita. Menurut World Health Report WHO, persentase anggaran kesehatan Indonesia termasuk yang terkecil di ASEAN dengan jumlah 2,2%, lebih rendah dari Myanmar (2,3%), Filipina (3,3%), Singapura (3,4%), Thailand (3,5%), Laos (3,6%), Malaysia (4,3%), Kamboja (6,0%), dan Vietnam (6,6%). Dengan keterbatasan anggaran ini, sudah tentu akan berdampak pada mutu pelayanan kesehatan, akses kesehatan, intervensi kesehatan, dan tentunya biaya kesehatan.
Dengan minimnya jumlah anggaran kesehatan, maka mutu pelayanan kesehatan terutama untuk warga menengah kebawah menjadi sangat buruk. Masih sering kita jumpai kasus dimana orang miskin yang ditolak oleh rumah sakit lantaran tidak memiliki biaya yang cukup, atau birokrasi dari jamkesmas yang semakin sulit, hingga lemahnya akses kesehatan di daerah-daerah terpencil. Bagaimana mungkin masalah-masalah gizi buruk akan dapat teratasi kalau kondisinya seperti ini.
Semoga Hari Gizi Nasional tahun ini tidak hanya menjadi perayaan dan supremasi belaka tanpa ada tindak lanjut nyata untuk menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia kita tercinta ini. Yang tak kalah penting tentunya, yang bertanggung jawab terhadap masalah gizi buruk ini tidaklah pemerintah saja, melainkan juga merupakan tugas kita yang notabene mahasiswa kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, mari kawan kita wujudkan Indonesia sehat yang sudah lama kita impikan dengan kontribusi-kontribusi kita. Kumpulan lidi jauh lebih kuat untuk memukul jika dibandingkan dengan hanya menggunakan satu batang lidi. Ingat saudaraku, kemajuan bangsa ada di tangan kita pemuda Indonesia.
1 comment:
Posting Komentar