Politik, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) salah satunya diartikan sebagai sebuah tindakan : mengenai siasat. Saya tertarik mengkaji politik video porno (diduga Ariel vs Luna dan Cut Tari) yang begitu banyak menyita perhatiaan khalayak. Satu pokok mendasar yang ingin saya baca adalah, siapa diuntungkan dan siapa dirugikan dalam kasus video porno bin cabul tersebut.
Saat saya menulis kolom singkat ini, belum ketahuaan apakah video tersebut Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari atau bukan. Polisi sedang mengusutnya, termasuk mencari penyebarnya. Bagi saya, sebagai peminat isu pemberitaan yang “heboh-heboh”, persoalan itu biarlah pihak berwenang yang menyelesaikannya. Saya akan fokus ke masalah arus informasi kabar video porno tersebut kaitannya dengan politik atau siasat pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kasus ini.
Satu institusi yang paling diuntungkan tentu media. Televisi ramai-ramai memberitakan kasus tersebut, penonton membuncah, acara infotainment menjadi laris manis. Rating meninggi. Dan tentu saja saat-saat demikian banyak dilirik pengiklan. Situs-situs internet juga begitu, tiba-tiba trafik pengunjung melonjak tajam. Sepadan dengan industri pertelevisian, mereka juga diuntungkan dengan kasus tersebut.
Oknum pengambil keuntungan lain ada juga. Seperti penjaja video bajakan di Glodok yang menjual video tersebut dengan harga 100 ribu, walau kemudian menurut informasi yang saya dapatkan diobral menjadi cukup 5 ribu saja. Atau, pengelola blog gratisan yang menampung koleksi bokep dengan harapan banyak pengunjung yang datang kemudian mengklik iklan google adsense sehingga mendapatkan dollar dari google. Yakinlah boy, usaha demikian tidak berkah. Merekalah satu contoh yang diuntungkan dalam kasus video porno itu.
Selain itu, dari kasus tersebut lantas muncul beragam pandangan. Pengamat IT mengomentari soal asli tidaknya video itu, lewat metadata yang katanya bisa juga diketahui kapan pembuatan video tersebut. Dr Boyke mengomentari gaya bercinta Ariel yang katanya “hebat” (yang ini saya tak mau komentar). Didin Hafidudin, seorang ustadz mengomentari agar tidak membuka aib saudara atau orang lain. Pengamat komunikasi ada yang ingin mengkaji soal kemungkinan “Komunikasi Pribadi” yang lumayan “keren” dari tokoh lelaki video porno tersebut dimana berhasil memikat para wanita. Artis-artis pula.
Sampai disini, saya melihat pentingnya kehadiran para ahli. Ya, para pakar yang bisa berbicara secara meyakinkan, memberikan solusi terbaik atas kasus tersebut, serta bisa memberikan pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi publik. Beruntunglah Anda yang mempunyai keahlian bidang tertentu sehingga bisa memberikan penjelasan yang menarik, meyakinkan dan bermanfaat pula.
Satu tokoh yang paling menarik saya kira adalah Ruby Alamsyah. Tokoh ini populer dan dikenal sebagai pakar digital forensik. Dengan kapasitan keilmuannya mengomentari secara meyakinkan tentang video porno tersebut. Di media massa, Ruby menjelaskan bahwa ada perangkat lunak atau software yang dapat membuktikan keaslian wajah seseorang yang terekam di video. Teknologi tersebut dikenal dengan nama software pengenal wajah (face recognition software).
Mengomentari video tersebut, dikatakan bahwa video tersebut asli, bukan rekayasa. Yang dimaksud asli adalah kualitas gambar dalam rekaman video tersebut bukan hasil editan atau rekayasa. Yah, semakin banyak berbicara di publik lewat kapasitas keilmuannya. Dan meyakinkan pula. Siap-siap saja diundang diberbagai workshop dan seminar-seminar.
Lantas, bagaimana dengan khalayak ramai? Disaat para pakar berbicara dengan kapasitas keilmuan mereka masing-masing, khayalak ramai, atau orang biasa hanya bisa berkomentar seadanya. Berbicara, berkomentar sesuai dengan kapasitas pemikiran dan pandangannya masing-masing. Mereka, sadar atau tidak sadar sedang menjadi obyek informasi alias target pemberitaan, khususnya setelah kasus tersebut dieksploitasi habis-habisan oleh berbagai media (terutama televisi dan situs berita online).
Hasilnya, beberapa orang tua mengeluhkan tayangan berita televisi yang memberitakan kasus video porno tersebut lengkap dengan cuplikan-cuplikan gambar videonya. Orang tua lain mengelus dada dan mengatakan betapa susahnya membesarkan anak-anak di era media sekarang ini. Lalu banyak orang bijak mengeluhkan semakin beredarnya video porno tersebut. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab?
Untuk urusan konten, terutama televisi, yang berwenang adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selasa 8 Juni 2010 KPI memang telah memberikan surat teguran kepada stasiun televisi tentang pemberitaan video porno. Sambil menjelaskan misalnya pasal-pasal seperti dilarang menonjolkan muatan cabul (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 5b) program siaran wajib memberikan perlindungan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 3 dan SPS Pasal 13), program siaran wajib menghormati privasi sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subjek dan objek berita (SPS Pasal 11) atau siaran tidak boleh menampilkan adegan seks (SPS Pasal 17).
Pertanyaannya adalah, manjurkah surat sanksi tersebut? Entahlah, biasanya stasiun televisi tenang-tenang saja. Bahkan kalau harus dipaksa berhenti siaran tinggal ganti nama program saja. Seperti acara “Empat Mata” menjadi “Bukan Empat Mata”. Kenyataan yang saya kira sebuah olok-olok stasun televis kepada KPI. Oleh karena itu, ditengah kuatnya kuasa media seperti sekarang ini, sudah saatnya kita perlu membangkitkan kuasa publik. Melakukan aksi bukan “Gerakan Anti Media” tetapi “Gerakan Cinta Media”. Dalam kasus ini, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan:
Pertama, mendorong terwujudnya siaran berjaringan. Sistem Televisi Berjaringan (SSJ) sebenarnya sudah harus diberlakukan mulai 28 Desember 2007 lalu sesuai dengan amanat UU N0.32/2002 tentang Penyiaran. Namun, sampai saat ini belum dilaksanakan juga. Ini adalah pelanggaran yang nyata. Namun pemerintah (KPI) tak bisa berbuat banyak. Maka dari itu, sudah saatnya masyarakat kembali menyerukan televisi berjaringan ini. Sehingga, tayangan buruk “impor” dari Jakarta seperti pemberitaan media televisi yang mengeksploitasi kasus video porno tersebut tidak serta-serta masuk dalam rumah kita dan menjadi konsumsi remaja maupun anak-anak.
Kedua, mengaktifkan lembaga pemantau media. Memang, satu kendala dari tidak aktifnya lembaga pemantau media adalah kesulitan dana untuk menjalankan roda organisasi (lembaga). Namun, sebisa mungkin kerja-kerja pemantauaan media tetap dilakukan walau dengan berbagai keterbatasan. Termasuk juga pemantauan terhadap aktivitas penggunaan “Media Sosial” yang salah dan merugikan publik.
Ketiga, mewujudkan pendidikan media. Pendidikan media ini memang seharusnya segera diimplementasikan di sekolah-sekolah. Kalangan akademisi Ilmu Komunikasi menyebut yang demikian dengan sebutan literasi media (melek media). Sebuah keterampilan yang tidak hanya mengajarkan tentang manfaat media, tetapi juga bersikap kritis dan bijak ketika berinteraksi dengan media. Tujuan pendidikan media ini adalah untuk melindungi publik dari dampak negatif media. Dengan demikian, masyarakat khususnya remaja tidak menjadi korban media. Yang sadar atau tidak sadar sering terkena imbas negatif tayangan media maupun pemberitaan “Media Sosial” yang sering menerpanya.
Tawaran solusi diatas menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Berat memang untuk melaksanakannya. Namun, ada satu hal yang bisa menguatkan kita semua. Pertanyaannya bukan kita bisa atau tidak bisa melakukannya, tapi kita mau atau tidak mau. Itu saja. Selamat bekerja dan berkarya mengharumkan nama bangsa.
SUMBER
Saat saya menulis kolom singkat ini, belum ketahuaan apakah video tersebut Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari atau bukan. Polisi sedang mengusutnya, termasuk mencari penyebarnya. Bagi saya, sebagai peminat isu pemberitaan yang “heboh-heboh”, persoalan itu biarlah pihak berwenang yang menyelesaikannya. Saya akan fokus ke masalah arus informasi kabar video porno tersebut kaitannya dengan politik atau siasat pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kasus ini.
Satu institusi yang paling diuntungkan tentu media. Televisi ramai-ramai memberitakan kasus tersebut, penonton membuncah, acara infotainment menjadi laris manis. Rating meninggi. Dan tentu saja saat-saat demikian banyak dilirik pengiklan. Situs-situs internet juga begitu, tiba-tiba trafik pengunjung melonjak tajam. Sepadan dengan industri pertelevisian, mereka juga diuntungkan dengan kasus tersebut.
Oknum pengambil keuntungan lain ada juga. Seperti penjaja video bajakan di Glodok yang menjual video tersebut dengan harga 100 ribu, walau kemudian menurut informasi yang saya dapatkan diobral menjadi cukup 5 ribu saja. Atau, pengelola blog gratisan yang menampung koleksi bokep dengan harapan banyak pengunjung yang datang kemudian mengklik iklan google adsense sehingga mendapatkan dollar dari google. Yakinlah boy, usaha demikian tidak berkah. Merekalah satu contoh yang diuntungkan dalam kasus video porno itu.
Selain itu, dari kasus tersebut lantas muncul beragam pandangan. Pengamat IT mengomentari soal asli tidaknya video itu, lewat metadata yang katanya bisa juga diketahui kapan pembuatan video tersebut. Dr Boyke mengomentari gaya bercinta Ariel yang katanya “hebat” (yang ini saya tak mau komentar). Didin Hafidudin, seorang ustadz mengomentari agar tidak membuka aib saudara atau orang lain. Pengamat komunikasi ada yang ingin mengkaji soal kemungkinan “Komunikasi Pribadi” yang lumayan “keren” dari tokoh lelaki video porno tersebut dimana berhasil memikat para wanita. Artis-artis pula.
Sampai disini, saya melihat pentingnya kehadiran para ahli. Ya, para pakar yang bisa berbicara secara meyakinkan, memberikan solusi terbaik atas kasus tersebut, serta bisa memberikan pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi publik. Beruntunglah Anda yang mempunyai keahlian bidang tertentu sehingga bisa memberikan penjelasan yang menarik, meyakinkan dan bermanfaat pula.
Satu tokoh yang paling menarik saya kira adalah Ruby Alamsyah. Tokoh ini populer dan dikenal sebagai pakar digital forensik. Dengan kapasitan keilmuannya mengomentari secara meyakinkan tentang video porno tersebut. Di media massa, Ruby menjelaskan bahwa ada perangkat lunak atau software yang dapat membuktikan keaslian wajah seseorang yang terekam di video. Teknologi tersebut dikenal dengan nama software pengenal wajah (face recognition software).
Mengomentari video tersebut, dikatakan bahwa video tersebut asli, bukan rekayasa. Yang dimaksud asli adalah kualitas gambar dalam rekaman video tersebut bukan hasil editan atau rekayasa. Yah, semakin banyak berbicara di publik lewat kapasitas keilmuannya. Dan meyakinkan pula. Siap-siap saja diundang diberbagai workshop dan seminar-seminar.
Lantas, bagaimana dengan khalayak ramai? Disaat para pakar berbicara dengan kapasitas keilmuan mereka masing-masing, khayalak ramai, atau orang biasa hanya bisa berkomentar seadanya. Berbicara, berkomentar sesuai dengan kapasitas pemikiran dan pandangannya masing-masing. Mereka, sadar atau tidak sadar sedang menjadi obyek informasi alias target pemberitaan, khususnya setelah kasus tersebut dieksploitasi habis-habisan oleh berbagai media (terutama televisi dan situs berita online).
Hasilnya, beberapa orang tua mengeluhkan tayangan berita televisi yang memberitakan kasus video porno tersebut lengkap dengan cuplikan-cuplikan gambar videonya. Orang tua lain mengelus dada dan mengatakan betapa susahnya membesarkan anak-anak di era media sekarang ini. Lalu banyak orang bijak mengeluhkan semakin beredarnya video porno tersebut. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab?
Untuk urusan konten, terutama televisi, yang berwenang adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selasa 8 Juni 2010 KPI memang telah memberikan surat teguran kepada stasiun televisi tentang pemberitaan video porno. Sambil menjelaskan misalnya pasal-pasal seperti dilarang menonjolkan muatan cabul (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 5b) program siaran wajib memberikan perlindungan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 3 dan SPS Pasal 13), program siaran wajib menghormati privasi sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subjek dan objek berita (SPS Pasal 11) atau siaran tidak boleh menampilkan adegan seks (SPS Pasal 17).
Pertanyaannya adalah, manjurkah surat sanksi tersebut? Entahlah, biasanya stasiun televisi tenang-tenang saja. Bahkan kalau harus dipaksa berhenti siaran tinggal ganti nama program saja. Seperti acara “Empat Mata” menjadi “Bukan Empat Mata”. Kenyataan yang saya kira sebuah olok-olok stasun televis kepada KPI. Oleh karena itu, ditengah kuatnya kuasa media seperti sekarang ini, sudah saatnya kita perlu membangkitkan kuasa publik. Melakukan aksi bukan “Gerakan Anti Media” tetapi “Gerakan Cinta Media”. Dalam kasus ini, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan:
Pertama, mendorong terwujudnya siaran berjaringan. Sistem Televisi Berjaringan (SSJ) sebenarnya sudah harus diberlakukan mulai 28 Desember 2007 lalu sesuai dengan amanat UU N0.32/2002 tentang Penyiaran. Namun, sampai saat ini belum dilaksanakan juga. Ini adalah pelanggaran yang nyata. Namun pemerintah (KPI) tak bisa berbuat banyak. Maka dari itu, sudah saatnya masyarakat kembali menyerukan televisi berjaringan ini. Sehingga, tayangan buruk “impor” dari Jakarta seperti pemberitaan media televisi yang mengeksploitasi kasus video porno tersebut tidak serta-serta masuk dalam rumah kita dan menjadi konsumsi remaja maupun anak-anak.
Kedua, mengaktifkan lembaga pemantau media. Memang, satu kendala dari tidak aktifnya lembaga pemantau media adalah kesulitan dana untuk menjalankan roda organisasi (lembaga). Namun, sebisa mungkin kerja-kerja pemantauaan media tetap dilakukan walau dengan berbagai keterbatasan. Termasuk juga pemantauan terhadap aktivitas penggunaan “Media Sosial” yang salah dan merugikan publik.
Ketiga, mewujudkan pendidikan media. Pendidikan media ini memang seharusnya segera diimplementasikan di sekolah-sekolah. Kalangan akademisi Ilmu Komunikasi menyebut yang demikian dengan sebutan literasi media (melek media). Sebuah keterampilan yang tidak hanya mengajarkan tentang manfaat media, tetapi juga bersikap kritis dan bijak ketika berinteraksi dengan media. Tujuan pendidikan media ini adalah untuk melindungi publik dari dampak negatif media. Dengan demikian, masyarakat khususnya remaja tidak menjadi korban media. Yang sadar atau tidak sadar sering terkena imbas negatif tayangan media maupun pemberitaan “Media Sosial” yang sering menerpanya.
Tawaran solusi diatas menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Berat memang untuk melaksanakannya. Namun, ada satu hal yang bisa menguatkan kita semua. Pertanyaannya bukan kita bisa atau tidak bisa melakukannya, tapi kita mau atau tidak mau. Itu saja. Selamat bekerja dan berkarya mengharumkan nama bangsa.
SUMBER
0 comment:
Posting Komentar