"Aku gak butuh maaf kamu, aku gak butuh!"
"Pak saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, ke depan saya pastikan tidak akan terjadi lagi"
"Maaf ya, aku janji gak akan kayak gitu lagi please maafin aku ya"
Maaf.. maaf.. dan maaf.. Ah! Sudahlah, pasti kepalang bosan atas kata satu ini. Ratusan bahkan ribuan yang sudah keluar dari mulut kita, begitupun yang kita dengar. Beragam tujuan dan maksud dibalik si empu-nya yang menggunakan kata. Ada yang tulus, ada juga yang enggak. Ada yang benar menyesal, ada yang enggak. Ada yang dibuat mainan, ada yang sampai bunuh diri biar maafnya diterima. Klise? Banget! Lalu, apa sih sebenarnya esensi maaf? Saya mencoba menjabarkan realita yang mungkin sedikit bisa menguak, untuk ke depan dapat dijadikan acuan untuk memaafkan kata maaf.
Pertama, realita terkait definisi. Berdasarkan KBBI, maaf adalah 1. pembebasan seseorang dari hukuman atau kesalahan 2. ungkapan permintaan ampun atau penyesalan. Sebagai awam, dari dua definisi tadi jelas sekali langsung bisa disimpulkan apa itu maaf, yang lebih kepada poin kesalahan dan penyesalan. Untuk cakupan yang lebih tinggi, maaf dapat diidentikkan dengan taubat (ini ketika kesalahan atau penyesalan tertuju bukan kepada hasil ciptaan tetapi kepada Sang Pencipta). Definisi clear? Masih cincai ya!
Kedua, realita logika memanusiakan manusia di lingkungan kita. Orang salah harus minta maaf? Harus! Orang salah tetapi bukan sepenuhnya si pembuat masalah harus minta maaf? Harus! Orang baru terduga salah harus minta maaf? Harus! Orang gak salah tetapi seluruh orang bilang dia salah juga harus minta maaf? Harus sekali! Ketawa baca ini? Memang itu adanya budaya dan logika masyarakat kita! Manusia yang sudah nempel sama embel-embel "SALAH" biar se-upil ya harus minta maaf, ya wong namanya tetap aja salah! Mau gak mau harus minta maaf biar orang bilang kita tetap "manusia". Pantes kan sekarang ribuan kali ngomong maaf atau mendengar maaf?
Realita ketiga, judge kepada seseorang yang jarang apalagi tidak pernah bilang maaf dengan image sombong, tinggi hati, egois. Pasti langsung terlintas kan, wah wah wah ini nih! Pernah nggak suatu ketika, kalian sedang nunggu angkot di halte, ada bapak-bapak nabrak kalian, bruk! Buku dan dokumen penting yang kalian bawa jatuh berserakan, becek, tiba-tiba bapak itu nyelonong jalan aja gak ada bilang maaf? "Anjir! Kurang ajar tuh bapak! Songong gila!" Makanya wajar kan kalau sekarang orang-orang, terutama ya anggota dewan yang terhormat, berlomba-lomba minta maaf biar kesannya wah ini nih rendah hati banget! Wah ini nih, baik orangnya! Padahal ya salah juga belum, kembali ke citra lah ya. Asik ya?
Setelah penjabaran ketiga realita, sekarang masuk ke dalam inti masalahnya, esensi maaf! Pertanyaan pertama, sebenarnya apa sih fungsi utama minta maaf? Merujuk realita definisi, ada dua poin gamblang soal maaf, kesalahan dan penyesalan. Flow-nya jelas, orang buat salah, menyesal, minta maaf deh. Kalau dia gak buat kesalahan? Ya bukan maaf! Maaf yang bukan maaf! Kalau dia buat kesalahan tapi gak menyesal? Ya juga bukan maaf! Maaf retoris yang artinya bukan maaf! Lagi-lagi maaf yang bukan maaf! Jadi kalau ada manusia ngeluarin jurus maaf sesuai dengan kriteria yang disebutkan tadi, kita beri maaf kita?
Toh saya yakin, semua orang di bumi sudah bisa mendefinisikan sendiri maaf-maaf yang ada berdasarkan ekspresi, mimik, intonasi, bahkan pergerakan mata seseorang. Tanpa sadar, alam sadar kita akan segera mengategorikan setiap maaf yang ditujukan kepada kita, benar tulus, formalitas, serius, atau bercanda, ajaib kan?
Pertanyaan kedua, pertanyaan paling klimaks, perlu gak sih sebenarnya minta maaf? Kalau realita tidak dijadikan dasar, kalau pola lingkungan kita lingkungan yang tidak mengagungkan manusia harus menonjol antar sesamanya, jawabannya.. gak perlu! Saya ambil dialog pasaran di restoran saat seorang waitres numpahin makanan customer, "Saya minta maaf sekali atas kejadian ini, saya akan perbaiki ke depannya, sekali lagi saya minta maaf", dialog 2 "Kami akan ganti dengan yang baru sekarang juga pak" enak mana? Merem pun kita pilih dialog 2, dan tolong garis bawahi disitu, tidak ada kata maaf!
Ah jelas sudah sekarang, jadi esensinya maaf adalah:
1. Action langsung terhadap masalah
2. Jaminan si korban tidak akan mengalaminya lagi, dengan kata lain kita tidak melakukannya lagi
Wajar jika bangsa kerajaan Roma gak pernah bilang sorry kalau minta maaf tetapi apologizes, merujuk kejadian ke depan setelah maaf tersebut. Sama arti beda makna! Jadi, minta maaf tapi ke depan diulangi lagi diulangi lagi, apa memberikan garansi tidak terjadi kembali tanpa ada kata maaf? Islam pun sudah kasih clue kita dari awal menyoal bahasan ini, masih ingat definisi taubat nasuha? Yoi! Berjanji tidak akan melakukannya lagi! Jadi gak heran ya, di awal tulisan penulis sisipkan monolog "Aku gak butuh maaf kamu, aku gak butuh!" lah wong memang butuh gak butuh, selama niat untuk tidak melakukan lagi sudah sangat bulat. So, masih mau minta maaf?
Rizky Amrulloh,
Temennya maaf
"Pak saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, ke depan saya pastikan tidak akan terjadi lagi"
"Maaf ya, aku janji gak akan kayak gitu lagi please maafin aku ya"
Maaf.. maaf.. dan maaf.. Ah! Sudahlah, pasti kepalang bosan atas kata satu ini. Ratusan bahkan ribuan yang sudah keluar dari mulut kita, begitupun yang kita dengar. Beragam tujuan dan maksud dibalik si empu-nya yang menggunakan kata. Ada yang tulus, ada juga yang enggak. Ada yang benar menyesal, ada yang enggak. Ada yang dibuat mainan, ada yang sampai bunuh diri biar maafnya diterima. Klise? Banget! Lalu, apa sih sebenarnya esensi maaf? Saya mencoba menjabarkan realita yang mungkin sedikit bisa menguak, untuk ke depan dapat dijadikan acuan untuk memaafkan kata maaf.
Kedua, realita logika memanusiakan manusia di lingkungan kita. Orang salah harus minta maaf? Harus! Orang salah tetapi bukan sepenuhnya si pembuat masalah harus minta maaf? Harus! Orang baru terduga salah harus minta maaf? Harus! Orang gak salah tetapi seluruh orang bilang dia salah juga harus minta maaf? Harus sekali! Ketawa baca ini? Memang itu adanya budaya dan logika masyarakat kita! Manusia yang sudah nempel sama embel-embel "SALAH" biar se-upil ya harus minta maaf, ya wong namanya tetap aja salah! Mau gak mau harus minta maaf biar orang bilang kita tetap "manusia". Pantes kan sekarang ribuan kali ngomong maaf atau mendengar maaf?
Realita ketiga, judge kepada seseorang yang jarang apalagi tidak pernah bilang maaf dengan image sombong, tinggi hati, egois. Pasti langsung terlintas kan, wah wah wah ini nih! Pernah nggak suatu ketika, kalian sedang nunggu angkot di halte, ada bapak-bapak nabrak kalian, bruk! Buku dan dokumen penting yang kalian bawa jatuh berserakan, becek, tiba-tiba bapak itu nyelonong jalan aja gak ada bilang maaf? "Anjir! Kurang ajar tuh bapak! Songong gila!" Makanya wajar kan kalau sekarang orang-orang, terutama ya anggota dewan yang terhormat, berlomba-lomba minta maaf biar kesannya wah ini nih rendah hati banget! Wah ini nih, baik orangnya! Padahal ya salah juga belum, kembali ke citra lah ya. Asik ya?
Setelah penjabaran ketiga realita, sekarang masuk ke dalam inti masalahnya, esensi maaf! Pertanyaan pertama, sebenarnya apa sih fungsi utama minta maaf? Merujuk realita definisi, ada dua poin gamblang soal maaf, kesalahan dan penyesalan. Flow-nya jelas, orang buat salah, menyesal, minta maaf deh. Kalau dia gak buat kesalahan? Ya bukan maaf! Maaf yang bukan maaf! Kalau dia buat kesalahan tapi gak menyesal? Ya juga bukan maaf! Maaf retoris yang artinya bukan maaf! Lagi-lagi maaf yang bukan maaf! Jadi kalau ada manusia ngeluarin jurus maaf sesuai dengan kriteria yang disebutkan tadi, kita beri maaf kita?
Toh saya yakin, semua orang di bumi sudah bisa mendefinisikan sendiri maaf-maaf yang ada berdasarkan ekspresi, mimik, intonasi, bahkan pergerakan mata seseorang. Tanpa sadar, alam sadar kita akan segera mengategorikan setiap maaf yang ditujukan kepada kita, benar tulus, formalitas, serius, atau bercanda, ajaib kan?
Pertanyaan kedua, pertanyaan paling klimaks, perlu gak sih sebenarnya minta maaf? Kalau realita tidak dijadikan dasar, kalau pola lingkungan kita lingkungan yang tidak mengagungkan manusia harus menonjol antar sesamanya, jawabannya.. gak perlu! Saya ambil dialog pasaran di restoran saat seorang waitres numpahin makanan customer, "Saya minta maaf sekali atas kejadian ini, saya akan perbaiki ke depannya, sekali lagi saya minta maaf", dialog 2 "Kami akan ganti dengan yang baru sekarang juga pak" enak mana? Merem pun kita pilih dialog 2, dan tolong garis bawahi disitu, tidak ada kata maaf!
Ah jelas sudah sekarang, jadi esensinya maaf adalah:
1. Action langsung terhadap masalah
2. Jaminan si korban tidak akan mengalaminya lagi, dengan kata lain kita tidak melakukannya lagi
Wajar jika bangsa kerajaan Roma gak pernah bilang sorry kalau minta maaf tetapi apologizes, merujuk kejadian ke depan setelah maaf tersebut. Sama arti beda makna! Jadi, minta maaf tapi ke depan diulangi lagi diulangi lagi, apa memberikan garansi tidak terjadi kembali tanpa ada kata maaf? Islam pun sudah kasih clue kita dari awal menyoal bahasan ini, masih ingat definisi taubat nasuha? Yoi! Berjanji tidak akan melakukannya lagi! Jadi gak heran ya, di awal tulisan penulis sisipkan monolog "Aku gak butuh maaf kamu, aku gak butuh!" lah wong memang butuh gak butuh, selama niat untuk tidak melakukan lagi sudah sangat bulat. So, masih mau minta maaf?
Rizky Amrulloh,
Temennya maaf
1 comment:
================================================
Judi Slot Pragmatic Indonesia
CLUB388
178.128.118.38
Situs Poker Online Uang Asli
Situs Judi Online Uang Asli
================================================
Posting Komentar