Copas dari sini..
Kelahiran Nabi di Tahun Gajah
Tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun 570 M, ketika bulan bercahaya, hadirlah seorang bayi mulia yang diberi nama Muhammad Ibn Abdullah. Tahun kelahiran sang bayi mulia ini disebut juga tahun Gajah oleh Quraisy. Mengapa disebut tahun Gajah? Gajah ini simbol adanya agresi militer yang dilancarakan Abrahah al-Habsyi, seorang penguasa dari Yaman yang hendak merobohkan Ka’bah. Dalam benaknya jika Ka’bah hancur tentulah para penziarah tidak akan lagi datang ke Mekkah, dan ia sendiri akan memaksa para penziarah untuk datang ke kota Shana’a, ibu kota Yaman untuk berziarah seperti halnya berziarah ke Ka’bah. Di Shana’a sang raja telah menyiapkan tempat ziarah yang dihiasi dengan keramik, emas, dan permata. Misi menghancurkan Ka’bah ini bukanlah hanya sekedar misi agama saja, namun kepentingan ekonomi lebih mendasari keinginan Abrahah agar banyak devisa yang akan mengalir ke kas Negara jika para peziarah datang ke sana’a. Bergeraklah pasukan Abrahah dengan menggunakan mesin perang modern ketika itu, yaitu Gajah. Agresi Abrahah ini memang sudah diketahui oleh masyarakat Quraisy ketika itu. Meskipun suku Quraisy dikenal gagah berani, tidak takut terhadap lawan, namun ketika menghadapi pasukan yang lebih banyak dari mereka yang dilengkapi senjata modern dengan mesin perang yang canggih pula, tentulah bukan lawan seimbang bagi mereka. Upaya politik dilakukan oleh Abdul Muthalib untuk mengadakan perundingan dengan Abrahah. Namun Abrahah bersikeras dan tidak mau berkompromi, “Pokoknya Ka’bah harus hancur“ begitu dalam benaknya.
Ka’bah kan Milik Allah !!!
Di saat keputusasaan melanda warga Quraisy, Abdul Muthalib kemudian hanya meminta satu permohonan saja. Hanya minta mengembalikan 200 ekor unta miliknya yang disita pasukan Abrahah di lua kota Mekkah. Tentulah Abrahah heran dan tidak habis pikir, “Kok ketika kotanya akan diserang, orang ini malah ngurusin untanya? Apa ia tidak takut kepada saya? Padahal kotanya diambang kehancuran? Dan tidak takut lagi ketika meminta, padahal Abrahah dikenal bengis dan kejam. Dengan enteng Abdul Muthalib hanya menjawab, bahwa unta-unta itu miliknya dan ia harus mengurusnya, sedangkan Ka’bah itu milik Allah dan pastilah Allah akan melindunginya. Ternyata benarlah yang dikatakan Abdul Muthalib, karena Allah pemilik Rumah Nya, maka pastilah Allah akan melindunginya. Ketika Abrahah memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang, tiba-tiba Gajah itu panik dan menolak masuk ke kota Mekkah. Namun ketika diarahkan ke lain arah, anehnya Gajah itu mau berjalan. Tiba-tiba cuaca berubah, langit menjadi hitam gelap dan tiba-tiba datang sekelompok burung yang melempari Abrahah dan pasukannya hingga binasa dan sebagian pasukan lari kocar kacir dan akhirnya mati mengenaskan di padang pasir yang tandus termasuk Abrahah sendiri. Beberapa sejarahwan mengatakan, bahwa burung-burung itu membawa wabah pula yang mungkin penyakit campak dan kolera. Di tahun inilah lahir seorang bayi mulia, penghibur sang ibu yang sebelumnya tertelan kesedihan ditinggal sang suami. Begitu pula menjadi kebangaan sang kakek yang telah kehilangan anak yang sangat disayaginnya, Abdullah. Seperti anak lainnya dalam tradisi Arab ketika itu, ketika seorang bayi lahir, maka sang bayi diserahkan kepada seorang wanita yang bertugas sebagai perawat dan menyusuinya sekaligus serta tinggal di pendalaman. Hikmah di balik penyusuaan ini, sang bayi mulia ini akan fasih dalam berbicara akan bahasa yang akan digunakan kelak karena masih asli dan belum tercampur dengan gaya bahasa lainnya, selain ia mampu hidup nantinya di iklim semenanjung Arab. Sejarah tidak akan pernah melupakan wanita yang merawat sang bayi, yaitu Halimatusa’diyyah.
Masa Kecil dan Wafatnya Ibunda
Masa kecil Muhammad Ibn Abdullah dihabiskan di kampung Bani Sa’ad yang terletak tidak jauh dari kota Mekkah. Setelah lima tahun, beliau dikembalikan ke rumah kakeknya Abdul Muthalib dan ibunya Aminah. Beberapa bulan kemudian, Aminah mengajak anaknya berziarah ke kuburan ayahnya di Yastrib (Madinah sekarang) sekaligus memperkenalkan bibi-bibi beliau dari pihak ayah dari marga Bani Najjar. Perjalanan dari Mekkah ke Yastrib yang jauhnya sekita 500 km ditempuh dalam waktu kurang lebih satu bulan. Rombongan ini yang terdiri dari Aminah, Muhammad dan seorang pembantu menetap sementara di Yastrib sebelum akhirnya pulang ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, Aminah sakit keras dan akhirnya wafat dalam perjalanan, kemudian dikuburkan di daerah Abwa. Dalam usia 6 tahun Rasulullah telah menjadi yatim piatu dan beliau sekarang diurus kembali oleh kakeknya Abdul Muthalib. Dari sang kakek, beliau mendapat curah kasih sayang dan kelembutan. Sang kakek sering mengajak beliau pergi seperti pertemuan-pertemuan dengan para pemuka Quraisy di sekitar Ka’bah dan lainnya. Abdul Muthalib sendiri ketika itu telah berusia lebih dari 100 tahun dan 2 tahun sejak meninggalnya sang ibu, sang kakek yang sangat menyanyanginnya, meninggal dunia.
Babak Baru Dalam Sejarah ; Peran Sang Paman
Mulailah babak baru dalam sejarah perjalanan Nabi, yaitu dengan masuknya salah satu pamanya dari pihak bapak yaitu Abu Thalib Ibn Abdul Muthalib. Abu Thalib termasuk orang yang mempunyai andil besar terhadap Nabi dan dakwah Islam di kemudian hari. Abu Thalib memutuskan untuk mengasuh anak saudaranya yang yatim piatu dengan kasih sayang, perhatian, kelembutan, dan perlindungan. Dan perlakuan Abu Thalib ini akhirnya membuat Nabi terhibur atas kesedihan setelah ditinggalkan kakek dan ibunya. Abu Thalib sendiri tidak saja memperlakukan Nabi seperti anaknya sendiri, bahkan diperlakukan lebih dari pada anaknya sendiri. Ini terlihat ketika Abu Thalib melindungi Nabi sekuat tenaga sampai akhir hayatnya.
Nabi Mulai Berbisnis
Masa muda Nabi tidak dihabiskan di bangku sekolah, madrasah atau universitas manapun, karena pendidikan saat itu hanya bagi kalangan mampu dan kaya. Meskipun Abu Thalib cukup terkenal di kalangan Quraisy, namun ia bukanlah orang yang kaya dan itu disadari oleh Nabi. Nabi sendiri berupaya agar secepat mungkin bisa bekerja agar tidak merepotkan pamannya, yaitu secepat mungkin bisa membantu bisnis dagangan pamanya. Setelah menginjak usia ke 13, Nabi mulai diajak pamannya berbisnis dalam satu ekspedisi pedagangan menuju Syria. Selama perjalanan, Nabi banyak membantu Abu Thalib dan sambil belajar (learning by doing) kiat-kiat berbisnis dari pamannya. Selain ikut berbisnis dengan pamannya, pemuda ini tidak malu mencari pekerjaan lain, meskipun mengembala kambing dangan gaji yang minim.
Keistimewaan pemuda ini sudah terlihat sejak kecil, dimana beliau tidak suka menyia-nyiakan waktunya bermain yang tidak berguna. Beliau tidak suka berbicara panjang lebar, ia dikenal berprilaku tenang, berwibawa, cenderung suka menyendiri dan sering mengamati lingkungan di sekelilingnya. Ia tidak suka pula Clubing, pergi ke tempat hiburan yang biasa dilakukan teman-teman seumurnya.
Kelahiran Nabi di Tahun Gajah
Tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun 570 M, ketika bulan bercahaya, hadirlah seorang bayi mulia yang diberi nama Muhammad Ibn Abdullah. Tahun kelahiran sang bayi mulia ini disebut juga tahun Gajah oleh Quraisy. Mengapa disebut tahun Gajah? Gajah ini simbol adanya agresi militer yang dilancarakan Abrahah al-Habsyi, seorang penguasa dari Yaman yang hendak merobohkan Ka’bah. Dalam benaknya jika Ka’bah hancur tentulah para penziarah tidak akan lagi datang ke Mekkah, dan ia sendiri akan memaksa para penziarah untuk datang ke kota Shana’a, ibu kota Yaman untuk berziarah seperti halnya berziarah ke Ka’bah. Di Shana’a sang raja telah menyiapkan tempat ziarah yang dihiasi dengan keramik, emas, dan permata. Misi menghancurkan Ka’bah ini bukanlah hanya sekedar misi agama saja, namun kepentingan ekonomi lebih mendasari keinginan Abrahah agar banyak devisa yang akan mengalir ke kas Negara jika para peziarah datang ke sana’a. Bergeraklah pasukan Abrahah dengan menggunakan mesin perang modern ketika itu, yaitu Gajah. Agresi Abrahah ini memang sudah diketahui oleh masyarakat Quraisy ketika itu. Meskipun suku Quraisy dikenal gagah berani, tidak takut terhadap lawan, namun ketika menghadapi pasukan yang lebih banyak dari mereka yang dilengkapi senjata modern dengan mesin perang yang canggih pula, tentulah bukan lawan seimbang bagi mereka. Upaya politik dilakukan oleh Abdul Muthalib untuk mengadakan perundingan dengan Abrahah. Namun Abrahah bersikeras dan tidak mau berkompromi, “Pokoknya Ka’bah harus hancur“ begitu dalam benaknya.
Ka’bah kan Milik Allah !!!
Di saat keputusasaan melanda warga Quraisy, Abdul Muthalib kemudian hanya meminta satu permohonan saja. Hanya minta mengembalikan 200 ekor unta miliknya yang disita pasukan Abrahah di lua kota Mekkah. Tentulah Abrahah heran dan tidak habis pikir, “Kok ketika kotanya akan diserang, orang ini malah ngurusin untanya? Apa ia tidak takut kepada saya? Padahal kotanya diambang kehancuran? Dan tidak takut lagi ketika meminta, padahal Abrahah dikenal bengis dan kejam. Dengan enteng Abdul Muthalib hanya menjawab, bahwa unta-unta itu miliknya dan ia harus mengurusnya, sedangkan Ka’bah itu milik Allah dan pastilah Allah akan melindunginya. Ternyata benarlah yang dikatakan Abdul Muthalib, karena Allah pemilik Rumah Nya, maka pastilah Allah akan melindunginya. Ketika Abrahah memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang, tiba-tiba Gajah itu panik dan menolak masuk ke kota Mekkah. Namun ketika diarahkan ke lain arah, anehnya Gajah itu mau berjalan. Tiba-tiba cuaca berubah, langit menjadi hitam gelap dan tiba-tiba datang sekelompok burung yang melempari Abrahah dan pasukannya hingga binasa dan sebagian pasukan lari kocar kacir dan akhirnya mati mengenaskan di padang pasir yang tandus termasuk Abrahah sendiri. Beberapa sejarahwan mengatakan, bahwa burung-burung itu membawa wabah pula yang mungkin penyakit campak dan kolera. Di tahun inilah lahir seorang bayi mulia, penghibur sang ibu yang sebelumnya tertelan kesedihan ditinggal sang suami. Begitu pula menjadi kebangaan sang kakek yang telah kehilangan anak yang sangat disayaginnya, Abdullah. Seperti anak lainnya dalam tradisi Arab ketika itu, ketika seorang bayi lahir, maka sang bayi diserahkan kepada seorang wanita yang bertugas sebagai perawat dan menyusuinya sekaligus serta tinggal di pendalaman. Hikmah di balik penyusuaan ini, sang bayi mulia ini akan fasih dalam berbicara akan bahasa yang akan digunakan kelak karena masih asli dan belum tercampur dengan gaya bahasa lainnya, selain ia mampu hidup nantinya di iklim semenanjung Arab. Sejarah tidak akan pernah melupakan wanita yang merawat sang bayi, yaitu Halimatusa’diyyah.
Masa Kecil dan Wafatnya Ibunda
Masa kecil Muhammad Ibn Abdullah dihabiskan di kampung Bani Sa’ad yang terletak tidak jauh dari kota Mekkah. Setelah lima tahun, beliau dikembalikan ke rumah kakeknya Abdul Muthalib dan ibunya Aminah. Beberapa bulan kemudian, Aminah mengajak anaknya berziarah ke kuburan ayahnya di Yastrib (Madinah sekarang) sekaligus memperkenalkan bibi-bibi beliau dari pihak ayah dari marga Bani Najjar. Perjalanan dari Mekkah ke Yastrib yang jauhnya sekita 500 km ditempuh dalam waktu kurang lebih satu bulan. Rombongan ini yang terdiri dari Aminah, Muhammad dan seorang pembantu menetap sementara di Yastrib sebelum akhirnya pulang ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, Aminah sakit keras dan akhirnya wafat dalam perjalanan, kemudian dikuburkan di daerah Abwa. Dalam usia 6 tahun Rasulullah telah menjadi yatim piatu dan beliau sekarang diurus kembali oleh kakeknya Abdul Muthalib. Dari sang kakek, beliau mendapat curah kasih sayang dan kelembutan. Sang kakek sering mengajak beliau pergi seperti pertemuan-pertemuan dengan para pemuka Quraisy di sekitar Ka’bah dan lainnya. Abdul Muthalib sendiri ketika itu telah berusia lebih dari 100 tahun dan 2 tahun sejak meninggalnya sang ibu, sang kakek yang sangat menyanyanginnya, meninggal dunia.
Babak Baru Dalam Sejarah ; Peran Sang Paman
Mulailah babak baru dalam sejarah perjalanan Nabi, yaitu dengan masuknya salah satu pamanya dari pihak bapak yaitu Abu Thalib Ibn Abdul Muthalib. Abu Thalib termasuk orang yang mempunyai andil besar terhadap Nabi dan dakwah Islam di kemudian hari. Abu Thalib memutuskan untuk mengasuh anak saudaranya yang yatim piatu dengan kasih sayang, perhatian, kelembutan, dan perlindungan. Dan perlakuan Abu Thalib ini akhirnya membuat Nabi terhibur atas kesedihan setelah ditinggalkan kakek dan ibunya. Abu Thalib sendiri tidak saja memperlakukan Nabi seperti anaknya sendiri, bahkan diperlakukan lebih dari pada anaknya sendiri. Ini terlihat ketika Abu Thalib melindungi Nabi sekuat tenaga sampai akhir hayatnya.
Nabi Mulai Berbisnis
Masa muda Nabi tidak dihabiskan di bangku sekolah, madrasah atau universitas manapun, karena pendidikan saat itu hanya bagi kalangan mampu dan kaya. Meskipun Abu Thalib cukup terkenal di kalangan Quraisy, namun ia bukanlah orang yang kaya dan itu disadari oleh Nabi. Nabi sendiri berupaya agar secepat mungkin bisa bekerja agar tidak merepotkan pamannya, yaitu secepat mungkin bisa membantu bisnis dagangan pamanya. Setelah menginjak usia ke 13, Nabi mulai diajak pamannya berbisnis dalam satu ekspedisi pedagangan menuju Syria. Selama perjalanan, Nabi banyak membantu Abu Thalib dan sambil belajar (learning by doing) kiat-kiat berbisnis dari pamannya. Selain ikut berbisnis dengan pamannya, pemuda ini tidak malu mencari pekerjaan lain, meskipun mengembala kambing dangan gaji yang minim.
Keistimewaan pemuda ini sudah terlihat sejak kecil, dimana beliau tidak suka menyia-nyiakan waktunya bermain yang tidak berguna. Beliau tidak suka berbicara panjang lebar, ia dikenal berprilaku tenang, berwibawa, cenderung suka menyendiri dan sering mengamati lingkungan di sekelilingnya. Ia tidak suka pula Clubing, pergi ke tempat hiburan yang biasa dilakukan teman-teman seumurnya.
0 comment:
Posting Komentar