Sebut saja nama anak ini Inka. Dia tinggal di sebuah kontrakan di daerah Setiabudi Jakarta Selatan. Dia adalah anak seorang tukang sampah dan tukang cuci keliling yang penghasilan keduanya hanya sebesar Rp 30.000,- per hari. Inka berusia 19 tahun. Dia adalah anak pertama, dan dia memiliki dua orang adik yang masing-masing berusia 7 tahun dan 11 bulan. Di usianya yang sekarang, ia baru lulus SMA. Untuk membiayai Inka sampai ke jenjang SMA saja, kedua orang tuanya harus membanting tulang, kerja sana kerja sini, hutang sana hutang sini, demi mendapatkan uang yang bagi kita mungkin tidak seberapa, namun bagi mereka merupakan jumlah yang sangat besar. Untuk makan keluarga sehari-hari dan bayar kontrakan saja susahnya bukan main, apalagi untuk membiayai pendidikan Inka dan adiknya yang juga masih duduk di bangku sekolah dasar. Keluarga Inka memang salah satu dari berjuta keluarga tidak mampu yang ada di Indonesia.
Kebingungan pun semakin melanda kedua orang tua Inka saat Inka lulus dari SMA, padahal Inka baru saja lulus seleksi dan berhasil masuk ke salah satu universitas terbaik di Indonesia yaitu Universitas Indonesia (UI). Bukan kesenangan yang terpancar dari raut wajah kedua orangtuanya, melainkan ratapan sedih dan bingung karena mereka tidak tahu lagi bagaimana cara mendapatkan uang untuk membiayai Inka di universitas. Perdebatan pun terjadi. Inka sangat ingin sekali melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia terus memaksa kedua orang tuanya agar mau menyekolahkannya. Namun ayah dan ibu Inka bersikeras tidak ingin Inka melanjutkan sekolahnya. Bukan karena tidak ingin anaknya pintar, tetapi uanglah yang menjadi penyebabnya. Selain itu, adiknya juga baru saja lulus TK dan sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke sekolah dasar. Mau tidak mau, orang tua Inka harus memilih salah satu diantaranya.
Untuk biaya pendaftaran adiknya saja, sudah harus dikenakan Rp 50.000,- untuk formulir. Tidak sampai disitu, untuk biaya seragam lengkap totalnya sebesar Rp 250.000,-. Yang lebih mencengangkan, uang pangkal sekolah tersebut berjumlah Rp 800.000,- dengan biaya per bulannya Rp 30.000,-. Padahal SD tersebut adalah SD negeri, dan tergolong SD yang paling “murah” diantara SD-SD lain di sekitar Setiabudi, lalu bagaimana dengan SD-SD yang lainnya? Berapa juta dana yang harus dikeluarkan rakyat kita hanya demi mengenyam sebuah pendidikan dasar yang notabene hak setiap rakyat dan warga negara untuk mendapatkannya? Sedangkan untuk biaya Inka di UI sendiri, biaya uang gedung berkisar antara 5 juta – 25 juta rupiah tergantung fakultasnya, sedangkan biaya per semesternya berjumlah 7.5 juta rupiah untuk program studi IPA dan 5 juta rupiah untuk program studi IPS.
Akhirnya keputusan itu pun diambil. Dengan sangat terpaksa kedua orang tua Inka memutus dan tidak melanjutkan sekolah Inka dan lebih memilih menyekolahkan adiknya karena tidak mampu membiayai kebutuhan pendidikan kedua anaknya secara bersamaan. Keseharian Inka pun diisi dengan berjualan gorengan milik tetangganya, dengan upah hanya Rp 15.000,- per hari, itupun kalau habis semua, kalau tidak upahnya pun dipotong menjadi Rp 10.000,-. Mungkin Inka adalah satu dari ribuan anak bangsa yang harus rela tidak bersekolah hanya karena masalah ekonomi, hanya karena keterbatasan dan ketidakmampuan orang tuanya dalam hal pendanaan. Sampai batas terakhir pendaftaran pun Inka dan keluarganya belum mengetahui bahwa di UI ada sebuah kebijakan yang bernama BOP-B (Biaya Operasional Pendidikan-Berkeadilan) yang merupakan bantuan biaya operasional untuk keluarga-keluarga tidak mampu seperti keluarga Inka karena nyaris sama sekali tidak ada fasilitas internet di wilayah Inka tinggal. Miriskah kita melihat kenyataan ini? Sedihkah kita melihat salah satu anak bangsa tidak bisa berkuliah hanya karena masalah dana dan kurangnya informasi?
Mau tidak mau, suka tidak suka, inilah realita pendidikan bangsa kita. Inilah keadaan yang sebenarnya terjadi di Indonesia, lebih tepatnya lagi di UI. Yang bisa mengenyam dan melanjutkan sekolah di UI hanya orang-orang tertentu, yang berkantong tebal saja. Sementara nasib anak-anak seperti Inka dan yang lainnya, harus rela berjualan gorengan, berjualan koran, mengamen di pinggir jalan, mengemis di kereta, meminta-minta dari rumah ke rumah, menjadi tukang semir sepatu, mencuri bahkan memalak, tertunduk pulas melihat teman-teman seusianya bersuka cita menikmati pendidikan. Sebenarnya salah siapakah semua ini?
Kalau kita melihat di televisi, pemerintah dengan gencarnya membuat iklan sekolah gratis di Indonesia. Dengan bangganya pemerintah berargumen bahwa hampir semua sekolah dasar di Indonesia sudah gratis dan akses untuk mendapatkannya sudah sangat mudah. Selain itu, pemerintah juga membuat iklan yang intinya membangga-banggakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Memang untuk beberapa sekolah sudah dapat merasakan peran langsung dari dana BOS ini, namun bagaimana dengan sekolah di tempat Inka? Bagaimana dengan sekolah yang terletak di pinggiran-pinggiran Jakarta?
Belum lagi masalah publikasi dari sistem BOP-B ini, yang hanya bisa diakses dan diketahui melalui internet. Bagaimana nasib anak-anak miskin yang tidak bisa mengakses internet? Darimanakah mereka akan mengetahui informasi mengenai BOP-B? Tidak berhenti sampai disitu. Permasalahan menjadi semakin pelik ketika rumus dalam menentukan batas nilai akhir penetapan biaya yang harus dibayar menjadi sangat tidak jelas dan semakin rumit. Berbagai syarat harus diajukan jika ingin mengurus BOP-B ini diantaranya surat keterangan tidak mampu, slip gaji orang tua, rekening listrik, foto rumah, tanda tangan RT dan RW, surat rekomendasi tetangga, dsb.
Ketika semua syarat telah terkumpul pun, mahasiswa baru belum bisa tenang karena masih menunggu hasil akhir penetapan biaya operasional yang sangat ketat dan rumit. Untuk mahasiswa baru yang sudah jelas-jelas tidak mampu saja, masih banyak yang mendapatkan jumlah BOP-B yang sangat besar (diatas Rp 500.000,-) dan sangat jarang sekali yang bisa mendapatkan dibawah jumlah tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh lembaga-lembaga kemahasiswaan baik di tingkat universitas bahkan fakultas untuk sedikit membantu mahasiswa-mahasiswa baru dalam hal BOP-B ini. Mulai dari mengiring sejak pendaftaran hingga penetapan hasil akhir, sampai aksi turun ke jalan untuk menuntut BOP-B yang lebih adil dan transparan, namun hasilnya nihil dan tidak banyak berpengaruh karena rektorat dan mahalum-mahalum fakultas memegang peranan yang sangat dominan disini. Diamkah kita melihat tingkah pejabat-pejabat di UI yang sudah kelewat batas ini?
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk sedikit meringankan masalah yang terjadi ini, mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Kalau kita tidak mampu ikut membantu dalam hal advokasi dan mengiringi jalannya BOP-B ini, ya minimal kita ikut membantu menyebarkan publikasi mengenai kebijakan BOP-B ini. Jangan sampai nasib seperti Inka ini terjadi lagi pada ribuan anak Indonesia yang lain. Mungkin benar, jika seluruh biaya pendaftaran para mahasiswa baru di UI dikumpulkan, sudah sangat cukup untuk membeli sebuah kapal pesiar seharga milyaran rupiah. Ingat saudaraku, kemajuan bangsa ini tergantung dari bagaimana tingginya pendidikan yang dienyam oleh para rakyatnya. Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia, dan hidup pendidikan yang lebih baik di Indonesia. (RA)
0 comment:
Posting Komentar