by : Wiji Thukul
Taatkala aku menyarunkan pedang dan bersimpuh di atas pangkuanmu, tertumpah rasa kerinduanku pada sang Ibu. Tangannya yang halus mulus membelai kepalaku, bergetarlah seluruh jiwa ragaku, musnahlah seluruh api semangat juangku.
Namun sang ibu berkata,
"Anakku sayang, apabila kakimu sudah melangkah di tengah padang, tancapkanlah kakimu dalam-dalam dan tetaplah terus bergumam, sebab gumam adalah mantra dari dewa-dewa, gumam mengandung ribuan makna."
"Apabila gumam sudah menyatu dengan jiwa raga, maka gumam akan berubah menjadi teriakan-teriakan, yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang besar, yang nantinya akan mampu merobohkan istana yang penuh kepalsuan, gedung-gedung yang di huni kaum munafik. Tatanan negeri ini sudah hancur anakku"
"Dihancurkan oleh sang penguasa negeri ini. Mereka hanya bisa bersolek di depan kaca tapi membiarkan punggungnya penuh noda dan penuh lendir hitam yang baunya kemana-mana. Mereka selalu menyemprot kemaluannya dengan parfum luar negeri, di luar berbau wangi di dalam penuh bakteri, dan hebatnya penguasa negeri ini pandai bermain akrobat. Tubuhnya mampu dilipat-lipat yang akhirnya pantat dan kemaluannya sendiri mampu dijilat-jilat.
Anakku apabila pedang sudah dicabut, janganlah surut, janganlah bicara soal menang dan kalah, sebab menang dan kalah hanyalah mimpi-mimpi. Mimpi-mimpi muncul dari sebuah keinginan, keinginan hanyalah sebuah khayalan yang akan melahirkan harta dan kekuasaan. Harta dan kekuasaan hanyalah balon-balon sabun yang terbang di udara.
Anakku asahlah pedangmu, ajaklah mereka bertarung di tengah padang, lalu tusukan pedangmu di tengah-tengah selangkangan mereka. Biarkan darah tertumpah d negeri ini"
"Satukan gumammu menjadi revolusi!!!"
0 comment:
Posting Komentar