Pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) pada 12 Nopember lalu, kita kembali disinggung tentang pembangunan kesehatan berdasarkan Visi Indonesia Sehat 2010. Sebuah konsep pembangunan di bidang kesehatan yang disusun pada 26 Oktober 1998 oleh Menteri Kesehatan Achmad Sujudi. Konsep ini kemudian dicanangkan oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai arah pembangunan di bidang kesehatan.
Penetapan 50 indikator teknis pada tahun 2003, menjadikan visi pembangunan di bidang kesehatan ini memang layak untuk dijadikan patokan. Tapi hingga dua tahun menjelang 2010, standar keberhasilan visi 2010 tersebut tampaknya masih jauh dari pencapaian. Ambil saja contoh ketersediaan tenaga kesehatan, dalam visi Indonesia Sehat 2010, rasio dokter per 100 ribu penduduk adalah 40, dokter gigi 11, dan bidan 100.
Namun dalam paparan Menteri Kesehatan dalam rapat terbatas bidang kesehatan dengan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 13 Juni 2007, ketersediaan tenaga kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan. Rasio dokter umum per 100 ribu penduduk baru mencapai 19,93, dokter gigi 5,05, dan bidan 35,40.
Angka ini tersebut tentu masih jauh dari target yang dicanangkan. Menurut Menteri Kesehatan, dalam sambutannya pada Hari Kesehatan Nasional setahun yang lalu, salah satu kendala untuk mencapai target tersebut adalah pembiayaan kesehatan yang terbatas dan pengalokasiannya yang belum optimal.
Anggaran Minim
Memang jika melihat anggaran kesehatan negeri ini, jumlah yang dialokasikan pada sektor ini masih terbilang minim. Meski ada kenaikan anggaran kesehatan dari 5,8 triliun pada 2005 menjadi 16 triliun pada tahun 2008, dan dianggarkan menjadi 19,3 triliun untuk tahun 2009, angka tersebut tetap saja masih jauh dari standar yang seharusnya. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Begitu pula jika berpatokan dengan Tap MPR No.5/2003 yang mengharuskan anggaran kesehatan mencapai angka 15 persen dari total anggaran. Jika total APBN untuk tahun 2009 sebesar 1.037,1triliun, maka setidaknya alokasi dana untuk anggaran kesehatan bisa mencapai sekitar 155,6 triliun.
Jika melihat perbandingan anggaran kesehatan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki anggaran kesehatan paling kecil. Dalam WHO World Health Report 2006, persentase anggaran kesehatan Indonesia terhadap PDB adalah yang terkecil dibanding anggota ASEAN lainnya. Anggaran kesehatan Indonesia hanya 2,2 persen dari PDB, lebih rendah dari Birma (2,3), Filipina (3,3), Singapura (3,4), Thailand (3,5), Laos (3,6), Malaysia (4,3), Kamboja (6,0), dan Vietnam (6,6). Alhasil dana yang dialokasikan untuk kesehatan setiap penduduk Indonesia (anggaran kesehatan per kapita) tak lebih dari 34 dolar AS pertahun, jauh di bawah Malaysia yang anggaran kesehatan per kapitanya mencapai 255 dolar AS, apalagi Singapura (1.035 dolar AS).
Meski demikian, minimnya anggaran kesehatan tersebut tidak menjadi alasan untuk bersikap pesimistik. Dengan arah yang jelas dan upaya yang sunguh-sungguh Visi Indonesia Sehat 2010 bukanlah sebuah kemusykilan untuk diwujudkan. Hanya saja dengan anggaran kesehatan yang serba terbatas, menjadikan sebagian penduduk ada yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Masyarakat dengan penghasilan pas-pasan tentu berisiko tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak akibat tingginya biaya kesehatan. Secara tidak langsung hal tersebut akan menghambat pencapaian target pembangunan di bidang kesehatan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada golongan masyarakat yang secara ekonomi berpenghasilan pas-pasan.
Jaminan Kesehatan
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus memprioritaskan pembangunan kesehatan untuk masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat berdasar sistem asuransi harus segera diwujudkan. Apalagi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai lembaga pengatur pelaksanaan sistem ini sudah terbentuk.
Berdasarkan Sistem Jaminan Sosial yang diatur dalam UU No. 40 tahun 2004, seluruh warga negara akan mendapatkan jaminan sosial dalam bentuk asuransi. Bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya ditanggung oleh negara. Dengan sistem seperti ini, setiap warga negara tidak akan lagi dipusingkan dengan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Sehingga layanan kesehatan yang layak tidak hanya jadi monopoli kalangan masyarakat kelas atas.
Optimalisasi pelaksanaan UU No. 40/2004 ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat mengingat masalah kemampuan ekonomi menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Selain itu, ketersedian sarana kesehatan yang memadai juga menjadi salah satu prasyarat peningkatan kualitas layanan kesehatan.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mencatat jumlah rumah sakit pada tahun 2005 sebanyak 1.268 unit. Sebanyak 626 unit dikelola oleh pihak swasta, hanya 452 unit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda). Selebihnya dikelola TNI dan Polri (112 unit), serta BUMN dan departemen lain (78 unit). Jumlah tersebut jauh dari memadai untuk melayani masyarakat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Terlebih, penyebarannya tidak merata, sebagian besar rumah sakit tersebut berada hanya di kota-kota besar.
Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, mau tidak mau penambahan rumah sakit pemerintah harus menjadi opsi yang wajib dilaksanakan. Terutama di daerah-daerah yang selama ini jauh dari jangkauan layanan kesehatan.
Tak hanya itu, peningkatan kapasitas rumah sakit pemerintah juga harus menjadi prioritas pengembangan dalam jangka pendek ini. Penambahan daya tampung pasien, peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana adalah hal yang harus diwujudkan untuk menampung membludaknya pasien, terutama di musim penyakit. Sehingga tak ada lagi cerita pasien yang dirawat di tempat yang tidak seharusnya, atau bahkan ditolak karena tak ada ruang untuk menampungnya.
Setidaknya dengan adanya jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, baik jaminan pendanaan melalui SJSN, maupun ketersediaan sarana kesehatan yang memadai dengan layanan yang layak, proses pengobatan dan rehabilitasi bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan tak lagi terhambat. Namun, sebuah negeri yang sehat seperti yang digagas dalam Visi Indonesia Sehat 2010 tidak hanya bisa dicapai dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif saja. Upaya yang terpenting adalah mencegah agar masyarakat tidak sakit dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat melalui pendekatan preventif dan promotif.
Tingginya angka gizi buruk yang mencapai 1,7 juta balita di awal 2007 lalu mungkin bisa ditekan menjadi lebih rendah dengan pendekatan kuratif. Namun, terganggunya pertumbuhan akibat kasus gizi buruk tersebut akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kecerdasannya. Sebagaimana kita ketahui 80 persen perkembangan otak berlangsung pada usia balita. Perkembangannya sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya. Zat gizi, seperti protein, zat besi, dan berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega3, adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat tersebut bisa didapat dari makanan sehari-hari, seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Di sinilah pentingnya pendekatan promotif dan preventif. Program posyandu dan sejenisnya adalah ujung tombak pendekatan ini. Sayangnya, sekarang sudah tidak lagi marak, akibat perhatian yang lebih banyak tersedot ke upaya penyehatan masyarakat yang sakit, termasuk dari sisi alokasi anggarannya.
Adalah hal yang bijak jika upaya peningkatan kesehatan ini menjadi hal yang diprioritaskan. Tidak semata-mata menekan agar angka gizi buruk tidak melambung tinggi, angka kematian bayi tidak , atau angka kematian ibu tidak meningkat, tapi lebih jauh dari itu, membangun masyarakat yang sehat dan terhindar dari penyakit. Prioritasnya sama seperti memprioritaskan pendidikan di negeri ini.
Mungkin kita harus melirik kembali standar WHO atau Tap MPR No.5/2003. Anggaran sebesar 5 persen dari total PDB atau 15 persen dari total APBN adalah investasi besar untuk membangun Indonesia masa depan. Apalah artinya anggaran pendidikan yang besar tanpa ditunjang oleh bahan baku berkualitas. Apalah artinya sekolah yang mentereng, fasilitas yang lengkap dan guru yang berkualitas, jika muridnya bodoh, loyo dan sakit-sakitan. Inilah saat yang tepat bagi pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan politik anggaran kesehatan yang berpihak kepada rakyat. (*)
Sumber : Harian SUARA MERDEKA, 19 Desember 2008
Penetapan 50 indikator teknis pada tahun 2003, menjadikan visi pembangunan di bidang kesehatan ini memang layak untuk dijadikan patokan. Tapi hingga dua tahun menjelang 2010, standar keberhasilan visi 2010 tersebut tampaknya masih jauh dari pencapaian. Ambil saja contoh ketersediaan tenaga kesehatan, dalam visi Indonesia Sehat 2010, rasio dokter per 100 ribu penduduk adalah 40, dokter gigi 11, dan bidan 100.
Namun dalam paparan Menteri Kesehatan dalam rapat terbatas bidang kesehatan dengan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 13 Juni 2007, ketersediaan tenaga kesehatan masih jauh dari apa yang diharapkan. Rasio dokter umum per 100 ribu penduduk baru mencapai 19,93, dokter gigi 5,05, dan bidan 35,40.
Angka ini tersebut tentu masih jauh dari target yang dicanangkan. Menurut Menteri Kesehatan, dalam sambutannya pada Hari Kesehatan Nasional setahun yang lalu, salah satu kendala untuk mencapai target tersebut adalah pembiayaan kesehatan yang terbatas dan pengalokasiannya yang belum optimal.
Anggaran Minim
Memang jika melihat anggaran kesehatan negeri ini, jumlah yang dialokasikan pada sektor ini masih terbilang minim. Meski ada kenaikan anggaran kesehatan dari 5,8 triliun pada 2005 menjadi 16 triliun pada tahun 2008, dan dianggarkan menjadi 19,3 triliun untuk tahun 2009, angka tersebut tetap saja masih jauh dari standar yang seharusnya. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Begitu pula jika berpatokan dengan Tap MPR No.5/2003 yang mengharuskan anggaran kesehatan mencapai angka 15 persen dari total anggaran. Jika total APBN untuk tahun 2009 sebesar 1.037,1triliun, maka setidaknya alokasi dana untuk anggaran kesehatan bisa mencapai sekitar 155,6 triliun.
Jika melihat perbandingan anggaran kesehatan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki anggaran kesehatan paling kecil. Dalam WHO World Health Report 2006, persentase anggaran kesehatan Indonesia terhadap PDB adalah yang terkecil dibanding anggota ASEAN lainnya. Anggaran kesehatan Indonesia hanya 2,2 persen dari PDB, lebih rendah dari Birma (2,3), Filipina (3,3), Singapura (3,4), Thailand (3,5), Laos (3,6), Malaysia (4,3), Kamboja (6,0), dan Vietnam (6,6). Alhasil dana yang dialokasikan untuk kesehatan setiap penduduk Indonesia (anggaran kesehatan per kapita) tak lebih dari 34 dolar AS pertahun, jauh di bawah Malaysia yang anggaran kesehatan per kapitanya mencapai 255 dolar AS, apalagi Singapura (1.035 dolar AS).
Meski demikian, minimnya anggaran kesehatan tersebut tidak menjadi alasan untuk bersikap pesimistik. Dengan arah yang jelas dan upaya yang sunguh-sungguh Visi Indonesia Sehat 2010 bukanlah sebuah kemusykilan untuk diwujudkan. Hanya saja dengan anggaran kesehatan yang serba terbatas, menjadikan sebagian penduduk ada yang sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Masyarakat dengan penghasilan pas-pasan tentu berisiko tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak akibat tingginya biaya kesehatan. Secara tidak langsung hal tersebut akan menghambat pencapaian target pembangunan di bidang kesehatan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada golongan masyarakat yang secara ekonomi berpenghasilan pas-pasan.
Jaminan Kesehatan
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus memprioritaskan pembangunan kesehatan untuk masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat berdasar sistem asuransi harus segera diwujudkan. Apalagi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai lembaga pengatur pelaksanaan sistem ini sudah terbentuk.
Berdasarkan Sistem Jaminan Sosial yang diatur dalam UU No. 40 tahun 2004, seluruh warga negara akan mendapatkan jaminan sosial dalam bentuk asuransi. Bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya ditanggung oleh negara. Dengan sistem seperti ini, setiap warga negara tidak akan lagi dipusingkan dengan biaya kesehatan yang cukup tinggi. Sehingga layanan kesehatan yang layak tidak hanya jadi monopoli kalangan masyarakat kelas atas.
Optimalisasi pelaksanaan UU No. 40/2004 ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat mengingat masalah kemampuan ekonomi menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Selain itu, ketersedian sarana kesehatan yang memadai juga menjadi salah satu prasyarat peningkatan kualitas layanan kesehatan.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mencatat jumlah rumah sakit pada tahun 2005 sebanyak 1.268 unit. Sebanyak 626 unit dikelola oleh pihak swasta, hanya 452 unit yang dikelola pemerintah (Depkes dan Pemda). Selebihnya dikelola TNI dan Polri (112 unit), serta BUMN dan departemen lain (78 unit). Jumlah tersebut jauh dari memadai untuk melayani masyarakat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Terlebih, penyebarannya tidak merata, sebagian besar rumah sakit tersebut berada hanya di kota-kota besar.
Untuk mengatasi kelangkaan tersebut, mau tidak mau penambahan rumah sakit pemerintah harus menjadi opsi yang wajib dilaksanakan. Terutama di daerah-daerah yang selama ini jauh dari jangkauan layanan kesehatan.
Tak hanya itu, peningkatan kapasitas rumah sakit pemerintah juga harus menjadi prioritas pengembangan dalam jangka pendek ini. Penambahan daya tampung pasien, peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana adalah hal yang harus diwujudkan untuk menampung membludaknya pasien, terutama di musim penyakit. Sehingga tak ada lagi cerita pasien yang dirawat di tempat yang tidak seharusnya, atau bahkan ditolak karena tak ada ruang untuk menampungnya.
Setidaknya dengan adanya jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, baik jaminan pendanaan melalui SJSN, maupun ketersediaan sarana kesehatan yang memadai dengan layanan yang layak, proses pengobatan dan rehabilitasi bagi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan tak lagi terhambat. Namun, sebuah negeri yang sehat seperti yang digagas dalam Visi Indonesia Sehat 2010 tidak hanya bisa dicapai dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif saja. Upaya yang terpenting adalah mencegah agar masyarakat tidak sakit dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat melalui pendekatan preventif dan promotif.
Tingginya angka gizi buruk yang mencapai 1,7 juta balita di awal 2007 lalu mungkin bisa ditekan menjadi lebih rendah dengan pendekatan kuratif. Namun, terganggunya pertumbuhan akibat kasus gizi buruk tersebut akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kecerdasannya. Sebagaimana kita ketahui 80 persen perkembangan otak berlangsung pada usia balita. Perkembangannya sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya. Zat gizi, seperti protein, zat besi, dan berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega3, adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat tersebut bisa didapat dari makanan sehari-hari, seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Di sinilah pentingnya pendekatan promotif dan preventif. Program posyandu dan sejenisnya adalah ujung tombak pendekatan ini. Sayangnya, sekarang sudah tidak lagi marak, akibat perhatian yang lebih banyak tersedot ke upaya penyehatan masyarakat yang sakit, termasuk dari sisi alokasi anggarannya.
Adalah hal yang bijak jika upaya peningkatan kesehatan ini menjadi hal yang diprioritaskan. Tidak semata-mata menekan agar angka gizi buruk tidak melambung tinggi, angka kematian bayi tidak , atau angka kematian ibu tidak meningkat, tapi lebih jauh dari itu, membangun masyarakat yang sehat dan terhindar dari penyakit. Prioritasnya sama seperti memprioritaskan pendidikan di negeri ini.
Mungkin kita harus melirik kembali standar WHO atau Tap MPR No.5/2003. Anggaran sebesar 5 persen dari total PDB atau 15 persen dari total APBN adalah investasi besar untuk membangun Indonesia masa depan. Apalah artinya anggaran pendidikan yang besar tanpa ditunjang oleh bahan baku berkualitas. Apalah artinya sekolah yang mentereng, fasilitas yang lengkap dan guru yang berkualitas, jika muridnya bodoh, loyo dan sakit-sakitan. Inilah saat yang tepat bagi pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan politik anggaran kesehatan yang berpihak kepada rakyat. (*)
Sumber : Harian SUARA MERDEKA, 19 Desember 2008
0 comment:
Posting Komentar