30 Sep 2009

Doa Buka Puasa "Allahumma LaKa Shumtu" Shahihkah?

SUMBER : ZULFADLI (ZULEF)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=142516281781


Ternyata ada banyak redaksi doa yang mirip dengan "Allahumma laKa shumtuu.

1. “Allahuma laKa shumtu wa’ala rizqiKa afthartu” (doanya sampai sini).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Baihaqi, dan Thabrani. Jalurnya ada 2, Anas bin Malik dan Mu’adz bin Zuhrah.

Dalam Jalur Anas bin malik, terdapat perawi bernama Isma’il bin Amru al Bajali dan Daud bin Az-Zibiriqan. Hadits ini dha’if alias lemah. Syaikh al Albany mengatakan bahwa Isma’il bin Amru al Bajali adalah dha’if (lemah). Berkata Imam Adz Dzahabi dalam kitab Adh-Dhu’afa: “Yang mendha’ifkannya (Ismai’il bin Amru al-Bajali) lebih dari satu orang.” Imam Al-Hafidz mengomentari Daud bin Az-Zibriqan sebagai orang yang matruk (riwayatnya ditinggalkan). Abu Daud juga memvonisnya sebagai matruk. Imam al-Haitsami mengatakan dha’if.

Dalam jalur Mu’adz bin Zuhrah, juga dha’if. Hadits ini mursal (riwayatnya tanpa melalui sahabat Nabi). Dalam hadits ini ada cacat, yaitu ketidak-jelasan identitas Mu’adz bin Zuhrah. Ibnu Hajar mengatakan hadits ini maqbul (diterima) bila ada ikutannya, bila tidak maka hadits ini lemah sanadnya dan mursal. Hadits mursal menurut pendapat yang kuat dari mazhab As-Syafi'i dan Ahmad tidak bisa dijadikan hujjah (argumen). Ini berbeda dengan metodologi Imam Malik yang sebaliknya dalam masalah hadits mursal. Hadits ini juga tidak punya shawahid (pendukung) yang mengangkatnya mencapai derajat hasan (baik).

2. “Bismillah wal hamdulillah, Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu, wa ‘alaika tawakkaltu, subhanaka wa bihamdika taqabbal minni innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Kata Syaikh al-Albany hadits ini juga dha’if, dari Anas bin Malik.

3. Dari Ibnu ‘Abbas: “Adalah Rasululah jika berbuka, dia mengucapkan: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu, fataqabbal minni innaka antas samii’ul ‘Aliim.”
Hadits ini juga dha’if menurut Syaikh al-Albany.

4. ”Allahumma laka shumna, wa 'ala rizkika aftharna, Allahumma taqabbal minna innaka antas samiul-alim.”
Ini diriwayatkan Ad-Daruquthuny, Ibnussunni dan At-Thabari meriyawatkan juga lewat jalur Abdul Malik bin Harun. Namun Az-Zahab mengomentari Abdul Malik sebagai orang yang ditinggalkan riwayatnya. Syeikh Al-Albany di dalam Al-Irwa' jilid 4 halaman 36 telah menetapkan kedhaifannya

Adakah riwayat yang shahih?
Ternyata, ada:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba azh-zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” Artinya, "Telah hilanglah dahaga, basahlah urat-urat, dan ditetapkanlah pahala, insya Allah" (HR. Abu Daud, as-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, Al Hakim dalam Mustadrak ‘alas Shahihain, katanya shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim. Menurut Syaikh al Albany hadits ini hasan, dalam kitab Misykat Al Mashabih)

Yang di Indonesia?
Loh, semuanya beda dengan yang biasa kita baca di Indonesia, coba cek lagi, ada ga yang redaksinya: “Allahumma laka shumtu, wa bika amantu, wa ‘ala rizqika afthartu, birahmatika yaa arhama ar raahimin.”
Lalu, bagaimana dengan yang sering kita dengar dan ucapkan itu?

Kata Ustadz Farid Nu’man, SS, “Setelah diperiksa ke lebih dari 50 kitab hadits yang terdapat dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, belum ditemukan do’a terkenal dengan redaksi itu. Bisa jadi redaksi seperti ini merupakan tambahan dari sebagian manusia, tidak bersumber dari kitab-kitab hadits yang bisa dipercaya.”
Nah lho.

Lalu, bagaimana sikap bijak kita terhadap perkara ini??
Ini tampaknya masuk dalam kaidah berdoa. Apakah berdoa harus dengan yang diriwayatkan atau tidak? Saya kutip aja beberapa pendapat terkait masalah ini.

Setelah baca tulisannya Ustadz Farid Nu'man saya mengonfirmasi via sms, beliau menyampaikan, boleh berdoa dengan redaksi tersebut (Allahumma laKa shumtu...) selama tidak menyandarkannya sebagai hadits (shahih).

Syaikh bin Baaz berkata, “Tidak mengapa seseorang berdoa dengan doa yang mudah baginya, walaupun dengan doa yang tidak diriwayatkan, jika dalam redaksinya mengandung kebenaran.” Demikianlah yang dinyatakan oleh Syaikh Utsaimin dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Kata Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, “Nyatanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa dengan menggunakan lafadz hadits yang derajat keshahihannya masih menjadi perdebatan. Sebagian mengatakan tidak boleh berdoa kecuali hanya dengan lafadz doa dari hadits yang sudah dipastikan keshahihannya. Namun sebagian yang lain mengatakan tidak mengapa bila berdoa dengan lafadz dari riwayat yang kurang dari shahih. Akan tetapi dalam lafadz doa secara umum, pada dasarnya malah dibolehkan berdoa dengan lafadz yang digubah sendiri. Apalagi ada zhan(anggapan) bahwa lafadz itu diucapkan oleh Rasulullah Saw.”

Kata KH. Saiful Islam Mubarak, Lc, “Berdoa dengan redaksi sendiri, selama kandungannya tidak keluar dari ajaran Islam dan sekalipun mengadakan sesuatu yang baru, tidak tertolak karena sumbernya jelas (atau dapat dikatakan “maa huwa minhu”, sy tambah: yaitu adanya dalil umum perintah berdoa), apalagi disertai dengan mengamalkan ajaran yang berada di dalamnya (atau dapat dikatakan “maa huwa fiihi”). Hal itu telah kita temukan dalam praktik ‘Aisyah ra. Beliau pernah menyusun doa yang dibacakan dalam shalatnya. Beliau membaca surat Ath-Thur, ketika sampai ayat yang berbunyi, “Maka, Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka” (ayat 27). Maka beliau berdoa dengan susunan “Ya Allah, curahkan kepada kami karunia-Mu dan selamatkanlah dari azab neraka.””

Nampaknya saya sudah tidak perlu menambah bagaimana kita harus bersikap, temen-temen saya kira dewasa mengambil kesimpulannya. Terutama dalam mengingatkan kepada masyarakat, sudah seharusnya dengan cara-cara yang baik dan memotivasi. Saya hanya memoderatori Ustadz-ustadz Kabir di atas aja, syukron Ustadz. Kapan-kapan kita undang satu ustadz untuk ngisi kajian kita.

Maraji' / Referensi:
ustsarwat.com (Ustadz Ahmad Sarwat, Lc)
abuhudzaifi.multiply.com (Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS)
Fikih Kontroversi seri 1, KH. Saiful Islam Mubarak, Lc.
Tuntunan Qiyamul Lail, Syeikh Muhammad Shaleh al-Khuzain.

0 comment:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More