Tak ada yang salah dari orang yang banyak bicara. Selama yang dibicarakan berisi yang baik-baik. Tapi ketika bicaranya tak lagi punya isi? Bahkan bicara bisa memunculkan fitnah, dan salah satu fitnah itu terungkapnya rahasia pribadi, keluarga, atau orang lain?
Rasul pernah memberi nasihat agar seorang muslim senantiasa bicara yang baik-baik. Kalo gak bisa, maka diamlah. Inilah pelajaran bahwa lidah bisa memunculkan kesalahan fatal. Ketika orang tak lagi mampu mengendalikan bicaranya, berbagai kesalahan termasuk terungkapnya rahasia bisa muncul begitu saja. Ringan. Tanpa beban.
Ketika orang tak lagi sungkan bicara yang remeh temeh (ex: gosip) maka aib bisa terbaca pendengar dengan mudah. Bisa aib diri sendiri, orang tua, teman, dan lain-lain. Biasanya, orang yang terlalu banyak bicara rentan keceplosan. Begitu rentan membeberkan sebuah rahasia dan aib yang tabu untuk diungkapkan.
Rasul juga pernah bilang, “Barangsiapa banyak bicara maka banyak pula salahnya dan barangsiapa banyak salah maka banyak pula dosanya. Siapa yang banyak dosanya maka api neraka lebih utama baginya.” (HR Athabrani)
Selanjutnya, ada juga kelengahan yang terjadi pada orang haus pujian. Pujian dalam takaran tertentu memang punya pengaruh baik. Dalam manajemen, ada istilah punish and reward. Sebuah kesalahan akan cepat terkikis jika ada hukuman. Dan sebaliknya, sebuah prestasi akan terus meningkat jika ada penghargaan. Dan penghargaan inilah bentuk lain dari pujian.
Masalah akan muncul jika pujian bukan lagi sebagai sarana, tapi sudah menjadi tujuan. Pujian jenis ini bisa dibilang sebagai penyakit. Apa pun bisa dikorbankan asal bisa dapat pujian. Orang yang cinta pujian selalu ingin terlihat tampil lebih. Termasuk saat menyampaikan gagasan, usulan, dan sejenisnya. Karena terdorong ingin terlihat lebih, tidak heran jika sesuatu yang sebenarnya tergolong rahasia atau aib bisa keluar begitu saja tanpa beban.
Di satu sisi, orang memang akan menilainya lebih dan pujian pun mengalir. Tetapi, ada kelemahan yang mudah terbaca, “Berikan saja pujian, maka dia akan memberikan apa pun yang Anda minta.”
Semakin paham seseorang akan pentingnya menjaga mulut, kian sangat berhati-hati orang tersebut dalam melangkah. Sebaliknya, kian dangkal pemahaman seseorang, semakin sembrono mengambil pilihan. Inilah standar penilaian yang bisa diambil.
Karena itu, jangan pernah titipkan rahasia ke orang yang dangkal pemahaman menjaga bicaranya. Karena rahasia akan sangat gampang bocor dan menyebar. Bahkan mungkin, karena dangkalnya pemahaman, si pembocor sendiri tidak menyadari kalau ia sedang melakukan pembocoran.
Karena terungkapnya sebuah aib atau rahasia bukan sekadar dari dalam diri, tetapi juga dari lingkungan. Orang yang amanah dalam rahasia kadang bisa larut dengan lingkungan yang menganggap sudah tidak punya rahasia. Mereka begitu mudah membuka rahasia orang lain.
Bahkan dalam dunia politik, membongkar rahasia orang lain bisa dianggap prestasi. Karena di situlah lawan bisa terjungkal. Padahal, orang lain pun sedang menunggu kesempatan. Suatu saat, rahasia bisa dibuka secara bersama-sama, "Kalau saya jatuh, dia pun harus terjungkal!"
Oleh karena itu, mari jaga mulutmu, mulut kita.
Rasul pernah memberi nasihat agar seorang muslim senantiasa bicara yang baik-baik. Kalo gak bisa, maka diamlah. Inilah pelajaran bahwa lidah bisa memunculkan kesalahan fatal. Ketika orang tak lagi mampu mengendalikan bicaranya, berbagai kesalahan termasuk terungkapnya rahasia bisa muncul begitu saja. Ringan. Tanpa beban.
Ketika orang tak lagi sungkan bicara yang remeh temeh (ex: gosip) maka aib bisa terbaca pendengar dengan mudah. Bisa aib diri sendiri, orang tua, teman, dan lain-lain. Biasanya, orang yang terlalu banyak bicara rentan keceplosan. Begitu rentan membeberkan sebuah rahasia dan aib yang tabu untuk diungkapkan.
Rasul juga pernah bilang, “Barangsiapa banyak bicara maka banyak pula salahnya dan barangsiapa banyak salah maka banyak pula dosanya. Siapa yang banyak dosanya maka api neraka lebih utama baginya.” (HR Athabrani)
Selanjutnya, ada juga kelengahan yang terjadi pada orang haus pujian. Pujian dalam takaran tertentu memang punya pengaruh baik. Dalam manajemen, ada istilah punish and reward. Sebuah kesalahan akan cepat terkikis jika ada hukuman. Dan sebaliknya, sebuah prestasi akan terus meningkat jika ada penghargaan. Dan penghargaan inilah bentuk lain dari pujian.
Masalah akan muncul jika pujian bukan lagi sebagai sarana, tapi sudah menjadi tujuan. Pujian jenis ini bisa dibilang sebagai penyakit. Apa pun bisa dikorbankan asal bisa dapat pujian. Orang yang cinta pujian selalu ingin terlihat tampil lebih. Termasuk saat menyampaikan gagasan, usulan, dan sejenisnya. Karena terdorong ingin terlihat lebih, tidak heran jika sesuatu yang sebenarnya tergolong rahasia atau aib bisa keluar begitu saja tanpa beban.
Di satu sisi, orang memang akan menilainya lebih dan pujian pun mengalir. Tetapi, ada kelemahan yang mudah terbaca, “Berikan saja pujian, maka dia akan memberikan apa pun yang Anda minta.”
Semakin paham seseorang akan pentingnya menjaga mulut, kian sangat berhati-hati orang tersebut dalam melangkah. Sebaliknya, kian dangkal pemahaman seseorang, semakin sembrono mengambil pilihan. Inilah standar penilaian yang bisa diambil.
Karena itu, jangan pernah titipkan rahasia ke orang yang dangkal pemahaman menjaga bicaranya. Karena rahasia akan sangat gampang bocor dan menyebar. Bahkan mungkin, karena dangkalnya pemahaman, si pembocor sendiri tidak menyadari kalau ia sedang melakukan pembocoran.
Karena terungkapnya sebuah aib atau rahasia bukan sekadar dari dalam diri, tetapi juga dari lingkungan. Orang yang amanah dalam rahasia kadang bisa larut dengan lingkungan yang menganggap sudah tidak punya rahasia. Mereka begitu mudah membuka rahasia orang lain.
Bahkan dalam dunia politik, membongkar rahasia orang lain bisa dianggap prestasi. Karena di situlah lawan bisa terjungkal. Padahal, orang lain pun sedang menunggu kesempatan. Suatu saat, rahasia bisa dibuka secara bersama-sama, "Kalau saya jatuh, dia pun harus terjungkal!"
Oleh karena itu, mari jaga mulutmu, mulut kita.
0 comment:
Posting Komentar